Sici, ia itu seorang gadis cantik yang saat
ini duduk di smu negeri 1 Pepetan di desa Pepetan. Ayahanda Sici, ia itu
seorang profesor yang saat ini mengajar di sebuah universitas ternama di kota
jakarta. Sici saat ini tinggal dengan kakek dan neneknya di desa tempat
kelahiran almarhum bundanya. Di desa itu, Sici berkeinginan menamatkan smunya.
Desa
Pepetan tersebut letaknya tak begitu jau dari pusat kota. Dan desa Pepetan
tersebut suda cukup maju dengan berbagai macam fasilitas seperti di kota pada
sedikitnya. Ada warnet, kantor pos, kantor polisi, apotek, bengkel, show room
mobil, motor, pasar rakyat modern, tempat wisata kebun buah, dan taman
pendidikan dari Tk sampai Smu semua lengkap di desa. Cuma belum ada
universitasnya aja. Pemakaman umum juga ada loh.
Siang
itu Sician Nitami baru saja keluar dari kelasnya. Sici safaan akrabnya itu, ia
buru-buru segera ke tempat parkiran dan mengambil sepedanya. Sici ingin segera
sampai di rumah. Ia mau mencoba mempraktek apa yang suda di sampaikan pak
Supono tadi pada mata pelajaran kimia. Sici itu mirip seperti ayahnya yang suka
pada ilmu kimia, hingga ayahnya tersebut bisa menjadi seorang profesor
sekarang.
Dengan
terburu-buru itu Sici pun mengambil sepedanya dan lalu menanting dari aupan parkiran
tersebut.
"Sici, mau kemana? Buru-buru amat!"
tanya Wida teman sebangkunya.
"Ada urusan. Penting?" jawabnya
langsung.
Sici
lalu menunggangi sepedanya itu. Ia kemudian langsung mengayuh sepedanya
tersebut dengan terburu-buru. Di depan pintu masuk sekolah. Sici mendadak
mengerem sepedanya seketika, karna terburu-buru itu ia tak pelak menabrak
Hansen si cowok berkacamata minus yang duduk di depan bangkunya. Hansen
tersungkur, tapi itu tak membuatnya terluka.
"Maaf!" pintah Sici.
"Kalau jalan, di lihat-lihat
dong..."
"Hans! kamu tak apa-apa kan?"
Mendengar suara Sici. Hansen langsung
mendongak ke atas, senang. "Eh Sici, eng nggak apa-apa kok?"
"Maaf ya Hans! Nggak segaja, suda
ya," lanjut Sici.
Sici
kemudian kembali memancal sepedanya dengan terburu-buru. Dalam perjalana Sici,
ia tidak segera ke rumah. Sici mampir dulu ke apotek dan membeli beberapa
keperluan. Petugas Apotek sempat tak memperbolehkannya karna ini bahan kimia
yang cukup berbahaya. Tapi dengan seribu alasan untuk pelajaran di sekolah. Sici
pun akhirnya mendapatkan ijin membeli bahan-bahan tersebut.
Setela
mendapatkan bahan-bahan yang di butuhkan itu dari apotek. Sici lalu segera
kembali pulang ke rumah.
Sampai
di rumah. Seluru barang-barang itu segera di bawahnya masuk ke dalam kamarnya.
Kamar Sici tertata suda mirip seperti laboratorium mini dan ciri kamar seorang
wanita juga terlihat di sudut kamarnya itu.
"Oke, saatnya ujicoba," Sici
semangat sekali bahkan ia tak sempat ganti seragam dulu.
"Sici. Kamu suda pulang," suara
neneknya tiba-tiba terdengar dari luar.
"Iya, nek...!" jawab Sici.
"Sici kamu di tunggu kakek di kebun.
Sekarang!"
"Iya!"
teriaknya. Sici pun mengambil nafas.
"Sudalah,
nanti aja percobaannya setelah dari kebun!"
"Sici
cepat," suara neneknya terdengar lagi.
"Iya.
Bentar...!"
Setela keluar dari kamarnya. Sici kini
mengenakan kaos putih dengan tepian pink dan bergambar simbol suparman di dada
besarnya itu. Bawahannya Sici memakai
celana jins pendek yang di potong di atas lutut.
Dari kamarnya itu. Sici ia lalu segera menuju
ke kebun kakeknya yang letaknya agak cukup jau dari rumah.
"Perlu
apa si kakek? Nganggu aja," ujarnya cemberut sambil terus jalan ke kebun.
Sampai di kebun keadaan sepi-sepi aja. Di
samping gubuk kecil itu Sici lalu duduk di gubuk tersebut. Selama beberapa saat
kakeknya tak juga nongol.
"Tu,
kemana ya kakek. Katanya ada perlu, kok nggak muncul," Sici pun
menggaruk-garuk kepalanya.
"Sici.
Sini..." suara kakeknya terdengar dari tempat tak jau dari gubuk yang di
duduki Sici.
Mendengar suara kakeknya tersebut. Sici pun
turun dari gubuk itu. Dengan sedikit berlari, ia menuju ke suara kakeknya itu.
Di tempat itu kakeknya Sici hanya berdiri mematung.
"Kakek,"
ujarnya senang. "Pak Rahmat, kak Sugi kemana ya?" bisiknya lalu.
Kakeknya tak menggubris. Beliau fokus melihat
sebuah batu yang di ketemukan barusan itu, berbentuk seperti batu
berwarna-warni tidak seperti batu pada umumnya.
"Sici.
Kamu tau ini batu apa?"
"E,
apa itu kek," Sici lalu menerima batu tersebut dari kakeknya. Sici pun
memandangi batu itu dari sudut-sudutnya.
"Dari
mana kakek dapat ini?"
"Itu!"
kakeknya itu lalu menunjuk ke sebuah galian tanah yang cukup lebar dan
tengahnya ada batu sebesar buah kelapa itu.
"Itu
kan!" Sici lalu dengan agak terburu-buru, ia pun menuju ke galian
tersebut. "Ini itu? Pecahan meteor!"
Sici senang sekali. Lubang di kebun kakeknya
itu lalu di pagari beberapa ranting pohon. Sici pun mengelilingi tubang
tersebut yang tak begitu luas itu untuk memastikan tak ada yang menggangu bahan
penelitian barunya ini.
"Sici
bisa bantu kakek sebentar. Tolong bawah kan ini ke sana," ujar kakeknya
itu sambil membawah beberapa buah pepaya mentah.
Sici tak menggubris permintaan kakeknya
tersebut. Sici terlihat senang dengan bahan penelitian barunya. Sesaat,
"Anak
ini," kakeknya itu suda paham dengan watak Sici, ia memang mirip ayahnya.
Kakeknya itu pun lalu mengambil setandan singkong. Perapian kemudian di buat
dan singkong itu pun di bakarnya. Tak lama bau harum singkong bakar pun menabur
di udara. Sici yang dari tadi fokus pada pecahan meteor itu. Terguga dan lalu
menghampiri kakeknya.
"Bagaimana.
Enak kan," ledek kakeknya.
"Ih.
Kakek."
"Kamu
ini. Kalau suda lihat barang seperti itu. Lupa sama kakek."
"Ya,
maaf aja kek," ujar Sici manjah.
Selesai menyantap singkong bakar kesukaannya
itu. Sici lalu membantu kakeknya memasukan buah pepaya yang baru di petik itu
ke gerobak pengangkut. Selesai memindakan semua pepaya yang di panen hari ini
ke gerobak. Sici pun meminta ijin ke kakeknya. Dan ia lalu kembali ke tempat
meteor jatuh itu berada.
Tak lama setelah memandangi batu meteor itu.
Sici bingung sendiri harus mulai dari mana. Kemudian, Sici pun ingat dengah
serpihan batu meteor yang ada di kantong celananya itu. Setelah di ambil, Sici
pun kepikiran akan mencari reaksi kimia dari batu meteor tersebut.
Dengan agak bergegas Sici lalu mengambil
beberapa daun pepaya. Dan batu meteor yang di tanah itu kemudian di tutupnya
dengan daun pepaya tersebut. Sici kemudian segera kembali pulang kerumah.
Di jalan. Sici bersimpangan dengan kakeknya
dan pak Rahmat yang sedang menarik gerobak pepaya. Sepertinya pak Rahmat baru
datang? Sici tak berhenti, ia terus saja berlari ke rumah dengan agak
terburu-buru sedikit.
Sampai di rumah Sici pun segera masuk ke
kamarnya. Bahan-bahan yang di dapatnya dari apotek tadi, di siapkannya di atas
meja penelitian. Serpihan batu meteor itu lalu di kepraknya dengan palu. Batu
itu terpecah beberapa bagian. Serpian terkecil lalu di taruhnya di bawah alat
mikroskop dan Sici pun lalu melihat dengan alat itu.
"Lendir?"
Sici mendapati lendir hijau keluar dari serpihan batu meteor tersebut.
Penelitian pun berlanjut. Serpihan ukuran batu
yang lebih besar lalu di masukan ke larutan campuran kimia. Dan warnanya pun
berubah hitam pekat. Dari larutan itu Sici kembali mengambil sampel setetes dan
lalu di taruhnya di bawah alat mikroskop itu lagi.
"Ini!"
sebuah reaksi listrik kimia terjadi.
Dan Sici pun lalu berpikir, ia belum perna
menjumpai batu yang mengandung aliran listrik. "Ini akan jadi sebuah
penemuan besar!"
Sici semakin bersemangat. Ia kemudian
mengambil serpihan yang agak lebih besar dan lalu di masukannya ke dalam gelas
air mineral. Beberapa saat kemudian air di gelas itu pun beruba warna menjadi
merah kental. Sici pun berkeinginan untuk mendinginkannya, ia ingin tau reaksi
apa lagi yang akan terjadi berikutnya.
Sici lalu keluar kamar dan menuju ke dapur. Di
dapur Sici kemudian memasukannya larutan itu ke dalam kulkas. Dan dari luar
kakeknya tiba-tiba memanggil.
Dengan perasaan senang itu Sici pun keluar. Di
luar suda ada Sugi, seorang pemuda yang usianya dua tahun lebih tua dari Sici.
Sugi, ia itu juga salah seorang pegawai di tempat perkebunan kakeknya Sici.
"Iya
kek."
"Sici,
bahwa masuk ini, kasih ke nenek!" kakeknya itu pun mengulungkan dua buah
pepaya matang pada Sici. Di kebun tadi sebenarnya kakeknya itu mau menyuruh
Sici membawah pulang dua pepaya matang tersebut.
"Siap
kek," Sici pun senyum-senyum sendiri.
"E.
Kenapa kau senyum-senyum sendiri?" kakeknya itu lalu melihat Sugi. Sici
juga ikut-ikutan ngelihat Sugi. "Oh."
"Ih,
kakek," ujarnya agak cemberut.
Sici saham maksud pandangan kakeknya itu. Sici
sebenarnya senang atas temuannya barusan. Bukan karna adanya Sugi si cowok
tampan itu.
Di dalam, satu pepaya yang suda masak itu pun
di potong-potong oleh neneknya. Sici kemudian di pinta neneknya itu untuk
membawah minuman yang suda siap itu ke depan. Di belakangnya neneknya lalu
menyusul dengan membawah nampan berisi pepaya matang yang suda di belahnya
tersebut.
Di luar, Sici suda tidak lagi senyum-senyum
sendiri, takut kena ledekan si kakek lagi.
"Silakan
di makan," ujar sang nenek setelah menaruh pepaya itu di teras.
"Nak
Sugi, pak Rahmat suda dulu. Ini, di makan dulu pepayanya. Di rasakan dulu
panenan kita hari ini."
"Mator
suwon pak," jawab pak Rahmat, ia pun lalu menyelesaikan kerjaannya itu dan
kemudian menyusul duduk di teras. Sugi juga kemudian selesaikan kerjaannya dan
lalu ikut santai di teras.
Pepaya matang itu pun di santap bersama di
sertai es sirup tiga berwarna hijau dan satu berwarna merah. Sugi pun mengambil
yang berwarna merah itu. Bersamaan itu, Sici juga mau mengambil yang berwarna
merah. Merasa barusan, Sugi pun mengalah dan lalu memberikan minuman tersebut
ke Sici. Sici pun menerimanya sambil senyum-senyum sendiri lagi. Kejadian itu
di pandangi kakek dengan senangnya.
"Em,
em," si kakek lalu ngambil sirup di depannya.
Sici jadi salah tingkah sendiri. Ia pun
kemudian menyeruput langsung sirup merah yang ada di tangannya itu.
Setelah es sirup itu hampir habis. Sici pun
merasa sesuatu. "Nggak ada rasa manisnya," bisiknya.
Di detik itu. Sici pun teringat dengan sampel
meteor yang ada di dalam kurkas.
"Nek,
sirup merah ini dapat dari mana? Perasaan ndak ada tu sirup merah di
kulkas."
"Itu
dari kulkas. yang tadi kamu bawah dari kamarmu!" setelah neneknya berkata
tersebut. Sici pun merasa, suda pasti itu sampel dari batu meteor yang mau di
dinginkan dulu tersebut.
Setelah dapat kejelasan dari nenek itu. Sici
pun langsung jatuh pingsan. Tubuhnya mengejang, mulutnya pun mengeluarkan busa.
Kesemuan seketika itul panik. Tubuh Sici kemudian langsung di angkat ke atas
truk pic up berisi buah pepaya itu. Dan Sici pun lalu di larikan ke rumah sakit
oleh Sugi yang jadi sopirnya.
Belom sekian, masih berlanjut to. Sementara
masih di karang bagai mana baiknya ceritanya