Powered By Blogger

Selasa, 17 Juni 2014

Profesor Sindrom




    Sici, ia itu seorang gadis cantik yang saat ini duduk di smu negeri 1 Pepetan di desa Pepetan. Ayahanda Sici, ia itu seorang profesor yang saat ini mengajar di sebuah universitas ternama di kota jakarta. Sici saat ini tinggal dengan kakek dan neneknya di desa tempat kelahiran almarhum bundanya. Di desa itu, Sici berkeinginan menamatkan smunya.
  Desa Pepetan tersebut letaknya tak begitu jau dari pusat kota. Dan desa Pepetan tersebut suda cukup maju dengan berbagai macam fasilitas seperti di kota pada sedikitnya. Ada warnet, kantor pos, kantor polisi, apotek, bengkel, show room mobil, motor, pasar rakyat modern, tempat wisata kebun buah, dan taman pendidikan dari Tk sampai Smu semua lengkap di desa. Cuma belum ada universitasnya aja. Pemakaman umum juga ada loh.

  Siang itu Sician Nitami baru saja keluar dari kelasnya. Sici safaan akrabnya itu, ia buru-buru segera ke tempat parkiran dan mengambil sepedanya. Sici ingin segera sampai di rumah. Ia mau mencoba mempraktek apa yang suda di sampaikan pak Supono tadi pada mata pelajaran kimia. Sici itu mirip seperti ayahnya yang suka pada ilmu kimia, hingga ayahnya tersebut bisa menjadi seorang profesor sekarang.
  Dengan terburu-buru itu Sici pun mengambil sepedanya dan lalu menanting dari aupan parkiran tersebut.
"Sici, mau kemana? Buru-buru amat!" tanya Wida teman sebangkunya.
"Ada urusan. Penting?" jawabnya langsung.
   Sici lalu menunggangi sepedanya itu. Ia kemudian langsung mengayuh sepedanya tersebut dengan terburu-buru. Di depan pintu masuk sekolah. Sici mendadak mengerem sepedanya seketika, karna terburu-buru itu ia tak pelak menabrak Hansen si cowok berkacamata minus yang duduk di depan bangkunya. Hansen tersungkur, tapi itu tak membuatnya terluka.
"Maaf!" pintah Sici.
"Kalau jalan, di lihat-lihat dong..."
"Hans! kamu tak apa-apa kan?"
 Mendengar suara Sici. Hansen langsung mendongak ke atas, senang. "Eh Sici, eng nggak apa-apa kok?"
"Maaf ya Hans! Nggak segaja, suda ya," lanjut Sici.
   Sici kemudian kembali memancal sepedanya dengan terburu-buru. Dalam perjalana Sici, ia tidak segera ke rumah. Sici mampir dulu ke apotek dan membeli beberapa keperluan. Petugas Apotek sempat tak memperbolehkannya karna ini bahan kimia yang cukup berbahaya. Tapi dengan seribu alasan untuk pelajaran di sekolah. Sici pun akhirnya mendapatkan ijin membeli bahan-bahan tersebut.
   Setela mendapatkan bahan-bahan yang di butuhkan itu dari apotek. Sici lalu segera kembali pulang ke rumah.
   Sampai di rumah. Seluru barang-barang itu segera di bawahnya masuk ke dalam kamarnya. Kamar Sici tertata suda mirip seperti laboratorium mini dan ciri kamar seorang wanita juga terlihat di sudut kamarnya itu.
"Oke, saatnya ujicoba," Sici semangat sekali bahkan ia tak sempat ganti seragam dulu.
"Sici. Kamu suda pulang," suara neneknya tiba-tiba terdengar dari luar.
"Iya, nek...!" jawab Sici.
"Sici kamu di tunggu kakek di kebun. Sekarang!"
"Iya!" teriaknya. Sici pun mengambil nafas.
"Sudalah, nanti aja percobaannya setelah dari kebun!"
"Sici cepat," suara neneknya terdengar lagi.
"Iya. Bentar...!"

  Sici pun segera mencopot satu persatu baju seragamnya. Body Sici itu mulus, putih, langsing, seksi end anuhnya... (Stop, dasar uaya darat, awas kalau kalian pikil macam-macam. Ku sumpain itu mata bin Titan? by Sici).
   Setela keluar dari kamarnya. Sici kini mengenakan kaos putih dengan tepian pink dan bergambar simbol suparman di dada besarnya itu. Bawahannya Sici  memakai celana jins pendek yang di potong di atas lutut.
   Dari kamarnya itu. Sici ia lalu segera menuju ke kebun kakeknya yang letaknya agak cukup jau dari rumah.
"Perlu apa si kakek? Nganggu aja," ujarnya cemberut sambil terus jalan ke kebun.
   Sampai di kebun keadaan sepi-sepi aja. Di samping gubuk kecil itu Sici lalu duduk di gubuk tersebut. Selama beberapa saat kakeknya tak juga nongol.
"Tu, kemana ya kakek. Katanya ada perlu, kok nggak muncul," Sici pun menggaruk-garuk kepalanya.
"Sici. Sini..." suara kakeknya terdengar dari tempat tak jau dari gubuk yang di duduki Sici.
   Mendengar suara kakeknya tersebut. Sici pun turun dari gubuk itu. Dengan sedikit berlari, ia menuju ke suara kakeknya itu. Di tempat itu kakeknya Sici hanya berdiri mematung.
"Kakek," ujarnya senang. "Pak Rahmat, kak Sugi kemana ya?" bisiknya lalu.
 Kakeknya tak menggubris. Beliau fokus melihat sebuah batu yang di ketemukan barusan itu, berbentuk seperti batu berwarna-warni tidak seperti batu pada umumnya.
"Sici. Kamu tau ini batu apa?"
"E, apa itu kek," Sici lalu menerima batu tersebut dari kakeknya. Sici pun memandangi batu itu dari sudut-sudutnya.
"Dari mana kakek dapat ini?"
"Itu!" kakeknya itu lalu menunjuk ke sebuah galian tanah yang cukup lebar dan tengahnya ada batu sebesar buah kelapa itu.
"Itu kan!" Sici lalu dengan agak terburu-buru, ia pun menuju ke galian tersebut. "Ini itu? Pecahan meteor!"
   Sici senang sekali. Lubang di kebun kakeknya itu lalu di pagari beberapa ranting pohon. Sici pun mengelilingi tubang tersebut yang tak begitu luas itu untuk memastikan tak ada yang menggangu bahan penelitian barunya ini.
"Sici bisa bantu kakek sebentar. Tolong bawah kan ini ke sana," ujar kakeknya itu sambil membawah beberapa buah pepaya mentah.
   Sici tak menggubris permintaan kakeknya tersebut. Sici terlihat senang dengan bahan penelitian barunya. Sesaat,
"Anak ini," kakeknya itu suda paham dengan watak Sici, ia memang mirip ayahnya. Kakeknya itu pun lalu mengambil setandan singkong. Perapian kemudian di buat dan singkong itu pun di bakarnya. Tak lama bau harum singkong bakar pun menabur di udara. Sici yang dari tadi fokus pada pecahan meteor itu. Terguga dan lalu menghampiri kakeknya.
"Bagaimana. Enak kan," ledek kakeknya.
"Ih. Kakek."
"Kamu ini. Kalau suda lihat barang seperti itu. Lupa sama kakek."
"Ya, maaf aja kek," ujar Sici manjah.
 
  Selesai menyantap singkong bakar kesukaannya itu. Sici lalu membantu kakeknya memasukan buah pepaya yang baru di petik itu ke gerobak pengangkut. Selesai memindakan semua pepaya yang di panen hari ini ke gerobak. Sici pun meminta ijin ke kakeknya. Dan ia lalu kembali ke tempat meteor jatuh itu berada.
  Tak lama setelah memandangi batu meteor itu. Sici bingung sendiri harus mulai dari mana. Kemudian, Sici pun ingat dengah serpihan batu meteor yang ada di kantong celananya itu. Setelah di ambil, Sici pun kepikiran akan mencari reaksi kimia dari batu meteor tersebut.
  Dengan agak bergegas Sici lalu mengambil beberapa daun pepaya. Dan batu meteor yang di tanah itu kemudian di tutupnya dengan daun pepaya tersebut. Sici kemudian segera kembali pulang kerumah.
  Di jalan. Sici bersimpangan dengan kakeknya dan pak Rahmat yang sedang menarik gerobak pepaya. Sepertinya pak Rahmat baru datang? Sici tak berhenti, ia terus saja berlari ke rumah dengan agak terburu-buru sedikit.
  Sampai di rumah Sici pun segera masuk ke kamarnya. Bahan-bahan yang di dapatnya dari apotek tadi, di siapkannya di atas meja penelitian. Serpihan batu meteor itu lalu di kepraknya dengan palu. Batu itu terpecah beberapa bagian. Serpian terkecil lalu di taruhnya di bawah alat mikroskop dan Sici pun lalu melihat dengan alat itu.
"Lendir?" Sici mendapati lendir hijau keluar dari serpihan batu meteor tersebut.
  Penelitian pun berlanjut. Serpihan ukuran batu yang lebih besar lalu di masukan ke larutan campuran kimia. Dan warnanya pun berubah hitam pekat. Dari larutan itu Sici kembali mengambil sampel setetes dan lalu di taruhnya di bawah alat mikroskop itu lagi.
"Ini!" sebuah reaksi listrik kimia terjadi.
  Dan Sici pun lalu berpikir, ia belum perna menjumpai batu yang mengandung aliran listrik. "Ini akan jadi sebuah penemuan besar!"
  Sici semakin bersemangat. Ia kemudian mengambil serpihan yang agak lebih besar dan lalu di masukannya ke dalam gelas air mineral. Beberapa saat kemudian air di gelas itu pun beruba warna menjadi merah kental. Sici pun berkeinginan untuk mendinginkannya, ia ingin tau reaksi apa lagi yang akan terjadi berikutnya.
   Sici lalu keluar kamar dan menuju ke dapur. Di dapur Sici kemudian memasukannya larutan itu ke dalam kulkas. Dan dari luar kakeknya tiba-tiba memanggil.
  Dengan perasaan senang itu Sici pun keluar. Di luar suda ada Sugi, seorang pemuda yang usianya dua tahun lebih tua dari Sici. Sugi, ia itu juga salah seorang pegawai di tempat perkebunan kakeknya Sici.
"Iya kek."
"Sici, bahwa masuk ini, kasih ke nenek!" kakeknya itu pun mengulungkan dua buah pepaya matang pada Sici. Di kebun tadi sebenarnya kakeknya itu mau menyuruh Sici membawah pulang dua pepaya matang tersebut.
"Siap kek," Sici pun senyum-senyum sendiri.
"E. Kenapa kau senyum-senyum sendiri?" kakeknya itu lalu melihat Sugi. Sici juga ikut-ikutan ngelihat Sugi. "Oh."
"Ih, kakek," ujarnya agak cemberut.
 
  Sici saham maksud pandangan kakeknya itu. Sici sebenarnya senang atas temuannya barusan. Bukan karna adanya Sugi si cowok tampan itu.
  Di dalam, satu pepaya yang suda masak itu pun di potong-potong oleh neneknya. Sici kemudian di pinta neneknya itu untuk membawah minuman yang suda siap itu ke depan. Di belakangnya neneknya lalu menyusul dengan membawah nampan berisi pepaya matang yang suda di belahnya tersebut.
  Di luar, Sici suda tidak lagi senyum-senyum sendiri, takut kena ledekan si kakek lagi.
"Silakan di makan," ujar sang nenek setelah menaruh pepaya itu di teras.
"Nak Sugi, pak Rahmat suda dulu. Ini, di makan dulu pepayanya. Di rasakan dulu panenan kita hari ini."
"Mator suwon pak," jawab pak Rahmat, ia pun lalu menyelesaikan kerjaannya itu dan kemudian menyusul duduk di teras. Sugi juga kemudian selesaikan kerjaannya dan lalu ikut santai di teras.
   Pepaya matang itu pun di santap bersama di sertai es sirup tiga berwarna hijau dan satu berwarna merah. Sugi pun mengambil yang berwarna merah itu. Bersamaan itu, Sici juga mau mengambil yang berwarna merah. Merasa barusan, Sugi pun mengalah dan lalu memberikan minuman tersebut ke Sici. Sici pun menerimanya sambil senyum-senyum sendiri lagi. Kejadian itu di pandangi kakek dengan senangnya.
"Em, em," si kakek lalu ngambil sirup di depannya.
  Sici jadi salah tingkah sendiri. Ia pun kemudian menyeruput langsung sirup merah yang ada di tangannya itu.
  Setelah es sirup itu hampir habis. Sici pun merasa sesuatu. "Nggak ada rasa manisnya," bisiknya.
 Di detik itu. Sici pun teringat dengan sampel meteor yang ada di dalam kurkas.
"Nek, sirup merah ini dapat dari mana? Perasaan ndak ada tu sirup merah di kulkas."
"Itu dari kulkas. yang tadi kamu bawah dari kamarmu!" setelah neneknya berkata tersebut. Sici pun merasa, suda pasti itu sampel dari batu meteor yang mau di dinginkan dulu tersebut.
  Setelah dapat kejelasan dari nenek itu. Sici pun langsung jatuh pingsan. Tubuhnya mengejang, mulutnya pun mengeluarkan busa. Kesemuan seketika itul panik. Tubuh Sici kemudian langsung di angkat ke atas truk pic up berisi buah pepaya itu. Dan Sici pun lalu di larikan ke rumah sakit oleh Sugi yang jadi sopirnya.

 Belom sekian, masih berlanjut to. Sementara masih di karang bagai mana baiknya ceritanya



Sabtu, 10 Mei 2014

Power famili




   Sebuah rumah yang cukup besar di jalan Pancasila. Di rumah itu di huni oleh keluarga Hamim. Di rumah itu di mulailah cerita yang berawal dari Dama anak tertua dari keluarga tersebut.
   Kamar lusuh berantakan. Kas ciri dari seorang anak cowok. Dama pagi itu barusan bangun dari tidurnya. Dengan mata masih sembab, ia secara otomatis memulai aktivitas paginya yang suda terekam di benaknya.
   Berdiri, ia pun lalu ngeluyur menuju ke ruangan penuh air. Di dalam situ, kran alam berderai, nyaring berbunyi dan bikin kenikmatan di dunianya.
   Pintu kamar terbuka. Setelan celana jins dan baju kotak-kotak bercorak garis hijau dan merah jingga dengan daleman kaos hitam. Dama lalu keluar dari kamarnya itu. Dengan lengan baju di lipat. Dama pun nyantai melengang. Melewati ruang makan. Bundanya itu memanggil sarapan. Di ruang makan keluarga Hamim, suda ada Bunda, Ayah, Kakek, Nenek dan dua adiknya Dian dan Didi.
   Tak lama setelah Dama duduk di meja makan. Dian suda menyelesaikan sarapannya dan di lanjutkan Didi juga suda rampung.
"Ma, pa! Dian pamit berangkat sekolah dulu ya," pinta si gadis cantik berjilbab putih itu. Dian lalu bersaliman pada ayah dan bundanya juga pada kakek dan neneknya.
"Hati-hati di jalan ya sayang," lanjut bundanya.
"Siap bos!" Dian lalu keluar melewati dapur dan ia langsung melesat mengudara.
"Ma, pa  Didi juga pamit ya." Didi pun melakukan yang sama seperti yang di lakukan kakaknya itu. "Kak Dian tunggu...," setelah bersaliman, Didi juga langsung menghilang setelah menengok ke belakang.
"Suda waktunya ini. Ma! Papa berangkat ngantor dulu ya." Bundanya Dama itu lalu mencium tangan suaminya.
"Hati-hati di jalan pa..."
"Iya?" cowok berpenampilan culun berkacamata agak tebal itu lalu keluar dari rumah tampak melihat ke depan, ia sibuk memeriksa dokumen yang di bawahnya. Dan ia hanya lewat begitu saja keluar berangkat.


   Kakek dan neneknya juga suda selesai sarapan. Ke duanya lalu keluar dari ruang makan dengan gaya mesra seperti barusan diner romantis.
"Ma!" tampa basa basi Dama lalu bersaliman memohon diri.
"Woe, Dama! Ayo...," teriak Erru teman kuliahnya dari luar. Selesai bersaliman pada bundanya. Dama segera berlari keluar. Bundanya itu pun mengikuti.
"Dama, hati-hati ya di jalan. Hanya kamu yang masih belum ...," ujar bundanya.
"Iya, suda tau...," Dama terus berjalan keluar dan menemui temannya itu.
 Di luar, Erru suda standbay di atas motor vespanya.
"Ayo, suda siap!" langsung Erru.
"Oke!" Dama lalu duduk di belakang Erru dengan mengenakan helm dari temannya itu barusan.
    Dari dalam rumah. Suara musik metalika pun berkumandang keras. Dengan nyanyian menghentak-hentak.
"Dam, kira-kira papa mu, tau ndak dengan selera musik mamamu itu," tebak tanya Erru.
"Suda. Ayo, jalan aja!" pintanya.
    Si vespa kesayangan Erru itu pun melaju dengan suara mengerikannya.

   End, cukup pengenalannya. Dan para pemeran yang lainnya dan akan muncul nanti, tunggu aja OC